
Lonjakan aksi demonstrasi anarkis yang terjadi di sejumlah wilayah pada akhir Agustus 2025 dinilai bisa menggerus kepercayaan investor terhadap Indonesia. Karena itu, pemerintah didorong untuk segera menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) agar iklim investasi tetap kondusif.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengungkapkan bahwa adanya aksi anarkis sepanjang akhir Agustus 2025 membuat para investor, utamanya investor sektor riil, akan mengurungkan niatnya untuk masuk ke Indonesia.
“Melihat kekacauan yang terjadi ditimbulkan dari sikap pemerintah yang acuh terhadap realitas masyarakat, saya yakin investor tidak akan percaya lagi. Akibatnya, investor akan mengurungkan niat berinvestasi di Indonesia, kecuali investor yang memang bagian dari oligarki pemerintah,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (4/9/2025).
Lebih lanjut, Nailul mengatakan ketidakstabilan politik akan menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Pada akhirnya, hal ini akan mempengaruhi kondisi usaha di Indonesia.
Nailul memproyeksikan kerugian yang dialami oleh ekonomi Indonesia, khususnya Jabodetabek, cukup besar selama aksi demonstrasi Agustus 2025.
Ia menyebut, Sektor jasa turun cukup signifikan dalam dua hingga tiga hari demonstrasi. Sektor jasa ini berkontribusi sekitar 45 persen dari ekonomi nasional atau sekitar Rp 9.900 triliun per tahun.
“Jika tiga hari dan yang terkena dampak 10 persen saja, maka kerugian bisa mencapai Rp 8 triliun-Rp 9 triliun secara ekonomi makro. Tentu ini adalah kerugian yang diakibatkan oleh inkompetensi pemerintah dalam mengatasi demonstrasi,” jelasnya.
Selain itu, ekonomi Indonesia juga dinilai akan lebih melambat ketika tidak ada investasi yang masuk; dunia usaha juga was-was dampak demonstrasi makin meluas..
Investasi pasti akan berkurang, ketersediaan lapangan kerja akan terbatas. Daya beli masyarakat bisa turun akibat inkompetensi pemerintah dalam menghadapi gelombang protes ini,” kata Nailul.
“Pertumbuhan ekonomi saya rasa akan jauh lebih rendah dibandingkan prediksi lembaga internasional. Namun, ini dengan asumsi apabila pemerintah tidak otak-atik data ekonomi seperti yang dilakukan di kuartal II/2025,” sambungnya.