
Wali Kota Blitar Syauqul Muhibbin berharap Pemerintah Pusat mengurungkan rencana pemotongan dana transfer ke daerah (TKD) sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani ketika masih menjabat pada Agustus 2025 lalu.
Menurut pria 40 tahun yang akrab disapa Mas Ibin itu, pemotongan TKD yang diperkirakan sekitar 30 persen dari sebelumnya akan mengakibatkan anggaran pembangunan semakin tertekan.
“Karena sebenarnya alokasi anggaran untuk belanja modal, untuk pembangunan, untuk memberikan stimulus pergerakan roda ekonomi masyarakat proporsinya sudah kecil dalam APBD,” ujar Ibin kepada Kompas.com, Jumat (12/9/2025).
“Contohnya kami, Kota Blitar, belanja modal dalam APBD 2025 hanya sekitar 30 persen dari total nilai APBD sebesar sekitar Rp 940 miliar,” tambahnya.
Sebagian besar dari APBD, kata Ibin, tersedot ke belanja operasional seperti gaji dan tunjangan aparatur sipil negara (ASN) serta biaya operasional lainnya termasuk biaya perkantoran dan lainnya yang mencapai lebih dari 50 persen dari nilai APBD.

Padahal, kata Ibin, tidak mungkin melakukan efisiensi pada kelompok belanja operasi khususnya gaji dan tunjangan ASN.
Efisiensi yang mungkin dilakukan pada kelompok belanja operasi hanya pada pengeluaran perkantoran yang nilainya tidak signifikan.
Jika TKD dipotong hingga 30 persen, lanjutnya, maka kelompok belanja APBD yang akan tertekan adalah kelompok belanja modal.
“Padahal di komponen belanja modal ini kita sudah rencanakan untuk sangat selektif pada program-program yang akan memberikan imbal hasil berupa kontribusi pada PAD (pendapatan asli daerah),” ungkapnya.
Meski demikian, Ibin mengaku pihaknya tidak akan bisa berbuat banyak jika pemerintah pusat tetap menjalankan rencana pemotongan TKD.
“Tapi apapun yang terjadi, kami harus bersiap diri. Jika benar dipotong, kami akan lebih selektif lagi untuk membelanjakan pada program produktif dan program yang mampu memberikan stimulus pada pergerakan roda ekonomi masyarakat,” tuturnya.
Saat ini, kata Ibin, PAD Kota Blitar hanya sekitar Rp 200 miliar atau menyumbang antara 15 persen hingga 20 persen dari pendapatan dalam APBD.
Dari jumlah tersebut, lanjutnya, tidak semuanya dapat digunakan untuk memperkuat belanja pembangunan karena hampir separuhnya berasal dari pendapatan rumah sakit daerah yang harus dikembalikan ke kas rumah sakit tersebut.
Ibin mengakui bahwa tantangan sulit yang dihadapi adalah meningkatkan PAD tanpa harus membebani warga dengan kanaikan pajak.